*Tok tok tok*
"Eni, bangun!" Terdengar suara ibunya
yang menggedor pintu. Eni masih tertidur pulas. Walaupun dia sudah mendengar suara ibunya itu. "Eni, ini sudah pagi,
kamu gak sekolah apa?! Ini kan hari pertamamu masuk di sekolah baru."
Karena merasa risih mendengar suara ibunya,
ia bangun dan bergegas masuk kekamar
mandi. Tak ada satu katapun yang terucap dari mulutnya. Mungkin dia masih kesal
karena sang ayah yang tidak bisa memberikannya sebuah mobil pada ulang tahunnya
yang ke 16 ini. Mata yang bengkak itu
masih terlihat begitu jelas. "Kamu masih marah sama papamu, Ni? Papamu itu
bukannya nggak mau beliin kamu, tapi masih banyak kebutuhan lain yang harus dicukupin ketimbang beli mobil yang
kamu mau, Ni." "Terserah! Eni nggak perduli. Bilang aja mama sama papa
itu pilih kasih. Coba aja kalau Kak Ical yang
minta sesuatu. Pasti mama papa beliin kan!" Suara pintu yang ia banting itu terdengar sangat keras. Kak Ical sepertinya memang selalu lebih beruntung di banding Eni. Dia anak yang rajin dan juga pintar serta taat dalam beribadah. Barang-barang yang dia miliki selalu ia rawat dan jaga sebaik mungkin. Berbeda dengan Seorang Eni yang apabila setiap membeli barang tidak pernah awet. Sampai-sampai ibunya heran, ada apa dengan tangan eni itu. Kok setiap memiliki barang tidak pernah awet. Kalau meminta sesuatupun Eni lebih terkesan kasar terhadap kedua orang tuanya. Apapun yang ia minta, Ayahnya selalu membelikannya. Ayahnya begitu sayang dengan Eni. Tapi untuk masalah yang satu ini, ibunya melarang sang ayah untuk menuruti permintaannya. "Kalau eni di turutin terus, dia nggak akan mandiri,Yah!" Ibu selalu saja berbeda dengan ayah. Ibu selalu memperhitungkan segalanya. Termasuk yang satu ini. "Mbok, aku pergi." Sapa Eni cuek. "Nggak pamitan dulu sama bapak dan ibu, Mbak?" Tanya mbok inem kepadanya. "Males. Mbok aja yg bilangin yah" Mbok inem mengerti dengan sikapnya yang seperti itu. Dan dia bisa menebak bahwa Eni sedang marajuk dengan kedua orang tuanya.
minta sesuatu. Pasti mama papa beliin kan!" Suara pintu yang ia banting itu terdengar sangat keras. Kak Ical sepertinya memang selalu lebih beruntung di banding Eni. Dia anak yang rajin dan juga pintar serta taat dalam beribadah. Barang-barang yang dia miliki selalu ia rawat dan jaga sebaik mungkin. Berbeda dengan Seorang Eni yang apabila setiap membeli barang tidak pernah awet. Sampai-sampai ibunya heran, ada apa dengan tangan eni itu. Kok setiap memiliki barang tidak pernah awet. Kalau meminta sesuatupun Eni lebih terkesan kasar terhadap kedua orang tuanya. Apapun yang ia minta, Ayahnya selalu membelikannya. Ayahnya begitu sayang dengan Eni. Tapi untuk masalah yang satu ini, ibunya melarang sang ayah untuk menuruti permintaannya. "Kalau eni di turutin terus, dia nggak akan mandiri,Yah!" Ibu selalu saja berbeda dengan ayah. Ibu selalu memperhitungkan segalanya. Termasuk yang satu ini. "Mbok, aku pergi." Sapa Eni cuek. "Nggak pamitan dulu sama bapak dan ibu, Mbak?" Tanya mbok inem kepadanya. "Males. Mbok aja yg bilangin yah" Mbok inem mengerti dengan sikapnya yang seperti itu. Dan dia bisa menebak bahwa Eni sedang marajuk dengan kedua orang tuanya.
Hari
ini pertama kalinya Eni masuk di sekolah barunya. Ini sudah ke sekian kalinya
dia pindah sekolah. Banyak sekali alasan untuk tidak menetap di sekolah lamanya
hingga lulus. Dan ayahnyapun setuju-setuju saja. Eni memasuki ruang kelas yang
bertuliskan XI-D di depan pintu bersama Bu
Nina. "Anak-anak, pagi ini kita kedatangan siswa baru. Dia pindahan dari
SMA Bakti Sejahterah. Eni, silahkan perkenalkan diri kepada teman-teman
barumu." Sahut Bu
Nina. "Baik, nama saya Dwi Wahyu Anggraeini. Pangil aja Eni." setelah
nemperkenalkan diri, bu nina menyuruh Eni duduk di bangku yang kosong. Tepatnya di samping
Shella. Senyum yang bersahabat dari
bibir Shella kepada Eni. "Shella" dan Shellapun
mulai membuka percakapan. "Gue Eni. Salam kenal ya" Tangan mereka
saling berjabat dan mereka mulai saling
berbasa basi. Eni memang termasuk orang yang gampang bergaul. Dalam hitungan
menit saja mereka sudah tampak akrab. "Memangnya kenapa kok lo pindah
sekolah?" "Guru-guru di sekolah lama gue pada killer semua.
Tugas-tugas yang di berikan juga nggak kalah banyak. Bisa mati gue kalau terus
terusan sekolah disitu." beberapa alasan yang terlontarkan dari mulut Eni
itu memang sering di keluhkan oleh beberapa murid di
sekolahnya. "Namanya juga pelajar, Ni. Itu mah wajar." "Iya sih,
tapi kan..." "tapi apa?" Bell berbunyi menandakan jam istirahat
"Tapi, gue laper. Yuk kita ke kantin!" Eni mencoba mengalihkan
perhatiannya.
Setiba
di kantin, Eni langsung memesan bubur ayam dan Shella hanya memesan beberapa
gorengan. Cappucino yang penuh, kini sisa setengah kerana haus yang sudah tidak bisa di tahan lagi oleh Eni
dn Shella. "Shel, itu siapa namanya?" Eni menunjuk lelaki
berjambul menggunakan jam tangan hitam yang berada di depan mejanya itu.
"Ohh itu, namanya Eza. Kenapa? Lo naksir sama dia? Ciee" Tawa shella
sedikit menggoda."Apasih, gue kan cuma nanya doang. Emang salah ya kalau
gue nanya?" Pipinya sedikit memerah karena malu. "Nggak ada salahnya
sih. Dia itu baik loh, Ni. Orang juga ramah. Tapi kamu bakal banyak saingan
tuh." wajar saja kalau Eza di sukai banyak wanita, ketua osis sekaligus
pemain basket terbaik ini memiliki postur tubuh yang sangat atletik dan sangat
kharismatik. Dia juga sering menang apabila mengikuti
lomba-lomba dalam bidang akademik. Siapa yang tidak tertarik?
Jam
sudah menujukkan waktu pulang sekolah. Semua siswa bersiap-siap. "Shel,
habis ini lo langsung balik kerumah?" Tanya Eni. "Iya. Kenapa,
Ni?" "Gue ikut kerumah lo yah. Lagi males dirumah nih."
Kebiasaan Eni bila sedang bertengkar dengan orang tuanya; Pulang Malam. Shella
mengiyakan dan mereka langsung menuju rumah Shella.
***
Eni
duduk sendiri di ruang tamu, dan Shella
mengambilkan beberapa camilan dan minuman. Sambil menunggu, Eni melihat foto-foto yang di pajang di ruang tamu.
Disitu ada beberapa foto Shella sewaktu kecil. Ada beberapa foto bersama
ibunya. Dan tak ada satupun foto dia bersama ayahnya. Shella datang membawa
segelas Sirup rasa cocopandan dan segelas lagi rasa melon. "Mau yg rasa
melon atau cocopandan?" tanyanya. "Aku yang cocopandan aja deh."
Shella menaruh gelas bening yang kini terlihat ada cairan berwarna merah
didalamnya kedepan Eni.
"Shel, itu foto lo sama nyokap lo ya?" Eni menunjuk salah satu foto
Shella yang sedang duduk di samping wanita cantik sambil mengangkat kedua
tangannya serta
jari tengah dan jari telunjuknya di angkat. "Iya, ini foto gue sama nyokap
waktu umur 5 tahun hehe" senyumnya terlihat seperti mengingat masa lalu.
"Daritadi gue ngeliat foto lo sama nyokap lo aja, sama bokap mana?"
Raut wajahnya yang senang seketika berubah. "Nyokap gak bolehin majang
foto bokap disini. Katanya bikin mood rusak doang." Sepertinya orang tua
Shella tidak dalam keadaan baik baik. "Ohh, maap banget yaa. Gue ng ng
nggak tau." Eni merasa bersalah akan pertanyaan dia tadi. Mungkin tidak
seharusnya dia bertanya seperti itu. Itu hanya membuat mood Shella berubah.
Raut wajah Shella sangat terlihat jelas bawaha dirinya sedang sedih. Walaupun
dia berusaha untuk menutupinya. "Nyokap sama Bokap gue cerai pas gue kelas
1 SD." Saat itu Shella
tidak mengerti apa-apa. Hampir setiap malam kedua orang tuanya itu selalu
kelahi. Saat mereka kelahi, pembantu Shella selau mambawa dirinya ketempat yang
jauh dari mereka berdua. Shella selalu bertanya-tanya mengapa mereka
terus-terusan seperti itu. Namun Mbok Ijah, pembantu
Shella hanya berkata bahwa mereka hanya bercanda saja. Prinsip
Bapak dan Ibu Shella sangat bertentangan.
Mereka selalu berdebat karena perbedaan pendapat. Karena Ibunya tidak tahan
dengan perbuatan sang suami. Ibu Shella lebih memilih untuk menjadi seorang
single parent. Mungkin kejadian tiap
malam itu membuat Shella Trauma dan menjadi takut apabila ada perkelahian di
sekolahnya. "Aduuuh, gue jadi nggak enak banget nih. Maaf yah. Eh kayaknya
sekarang One Direction lagi nampil nih. Coba deh nyalain TV!" Eni mencoba
meraih remote dan mengalihkan pembicaraannya.
"Haha, lo itu kalau mau ngalihin pembicaraan nggak usah gitu juga
kali. Nggak ngaruh sama gue!" Ternyata usahanya Eni sia sia. "Gue udah biasa kali begini. Toh emang
kenyataannya kondisi keluarga gue seperti ini ya mau di gimanain lagi."
Terdengar
suara mobil yang berasal dari depan rumah Shella. Tak lama kemudian beberapa teman-teman Shella masuk dan
langsung bergabung di ruang tamu tersebut.
"Hayyy" Sahut mereka. Wajah-wajah mereka tidak asing bagi Eni.
Ternyata mereka memang teman sekelas Eni dan Shella. "Sorry, kita kesini
nggak bilang dulu. Tadi dari rumahnya Ekky. Kan lewat sini juga, jadi sekalian
mampir deh." Eni merasa lega karena kedatangan teman-temannya mungkin akan
bisa merubah mood Shella yang tadinya sedih menjadi senang. "Mata kamu kok
kayak habis nangis, Shel?" Tanya Sitta.
"Hehe, biasa gue abis cerita ke Shella tentang orang tua gue."
Wajahnya masih terlihat sedih. "Udah. gak usah dipikirin, Shel. Orang tua
kita itu gak pernah mikirin masa depan anaknya. Mereka cuma mikirin ke egoisan
mereka." Sahut Dian. Di ruangan itu bukan hanya Shella saja yang
keluarganya mengalami perceraian, tetapi ada Dian, Sitta dan juga Memey. Di
ruangan itu hanya ada 6 orang saja. Shella, Eni, Sitta, Dian, Rika dan Memey.
Dan mungkin hanya keluarga Eni saja yang tidak memiliki konflik seperti yang
lain. "Gue nggak mau inget inget kejadian saat itu lagi. Gue nggak mau
nginget kejadian saat orang tua gue kelahi
sementara disitu ada gue dan kakak gue. Sakit banget kalau inget masa-masa itu!"
Mata Memey
mulai berkaca-kaca mengingat
kejadian yang sebenarnya sudah tidak mau di ingatnya lagi. "Seandainya
waktu bisa di putar, hal yang paling gue inginkan itu adalah bisa berkumpul
dengan keluarga gue secara utuh. Ngeliat nyokap bokap gue ketawa bareng, jalan-jalan
bertiga bareng gue. Pengeen banget. Rasanya itu seperti surganya dunia."
Suara Sitta yang tadi membisu mulai terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca juga. "Gue sebenernya iri sama lo
yang bisa nyium tangan nyokap lo, Shel. Gue juga pengen bisa nyium tangan
nyokap gue saat gue mau pergi sekolah. Gue pengen saat gue sarapan nyokap gue
ada dan bikinin gue sarapan." Memey kembali bersuara.
Suasana di ruang tamu saat ini sangat mengharu
biru. Masing masing saling merenung dan mengingat keadaan keluarganya masing
masing. "Gue iri sama orang yang orang tuanya masih bersama. Mereka masih
bisa kumpul bareng, ketawa bareng, jalan bareng. Gue pengen saat gue makan
malam, ada Nyokap dan Bokap gue duduk bareng di meja makan. Jangankan buat
makan bareng. Setiap pagi gue ketemu mereka aja jarang. Walaupun mereka nggak
seperti orang tua kalian, tapi mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Gue bangun, mereka udah pergi. Gue tidur, mereka baru datang. Gue bahkan jarang
melihat keadaan rumah seperti dulu lagi. Sebelum bokap dan nyokap gue sesibuk
ini. Gue pengen sekali aja ngeliat mereka bisa kumpul bareng lagi. Gue iri liat
orang-orang yang pergi kesekolah di antar orang tuanya. Gue iri ngeliat
orang-orang yang di jemput orang tuanya. Gue juga pengen begitu. Pengen
bangeet!" Rika yang tadinya diam, tetapi sekali berbicara panjangnya
mengalahkan ukuran ular piton terpanjang di dunia.
Eni
dari tadi membisu mendengarkan cerita mereka. Dia pikir dengan kedatangan
teman-temannya tadi dapat merubah suasana. Tapi nyatanya saat ini suasana
menjadi semakin keruh. Dia juga memikirkan keadaan keluarganya. Orang tuanya
yang sangat perhatian kepadanya, ibunya yang selalu menyediakan sarapan setiap
pagi, ayahnya yang rela berkorban demi dirinya. Kini air matanya juga ikut
menetes karena rasa bersalahnya kepada kedua orang tuanya. Mereka berdua yang
selalu ada untuknya, dia abaikan hanya karena permintaan yang ia minta tidak di
kabulkan oleh keduanya. Dia merasa bersalah ketika dia mengacuhkan pembicaraan
ibu dan ayahnya sementara teman-temannya sangat menanti hal itu dari kedua
orang tuanya. Apa yang Eni miliki dan dia acuhkan, padahal teman-temannya
sangat menginginkan hal yang Eni rasakan dari kedua orang tuanya. Air matanya
terus mengalir. Semua keadaan disana sangat mengharukan.
Tak
terasa, matahari sudah tenggelam. Eni berpamitan untuk pulang. Sesampainya
dirumah, ia langsung meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Dia mencium tangan
ayah dan ibunya. Dia bersujud di hadapan mereka berdua. Dia sangat merasa
bersalah karena hal yang tidak seharusnya dia lakukan itu. Mobil mewah yang iya
minta itu sekarang sudah tidak penting lagi baginya. Yang terpenting adalah
bisa berkumpul bersama keluarga tercintanya itu. Sebanyak apapun uang yang
dimiliki orang-orang di luar sana, tak sebanding dengan besarnya cinta dan kasih
sayang dari kedua orang tua.
5 comments:
wuih panjaaang. siapin cemilan dulu buat baca. :D
@cancut berkedok jeans : siapin cemilan yang banyak ya kak :D
Oiya, kok blognya kk gabisa di follow? ._.
haha iya, emang gak dibikin buat di follow :D
bagus kak ceritanya, tp panjang buanget... jalan2 ke blogku juga y kak...
http://pengetahuan-inspirasi.blogspot.com
q jg anak mts model..
@ Raga : Cerpen yg lain ada yg nggak terlalu panjang kok de :) Oiya, blog-mu keren yaa :D
Posting Komentar