Kamis, 31 Januari 2013

Aku, Kamu dan Dia


       Mobilku melaju mengarah kerumahku. Padahal jam tanganku masih menunjukan ke arah 10. Masih pagi sekali untuk seorang Nadya pulang ke rumah  jam segitu. Tapi, aku sendiri bingung ingin kemana. Daripada aku berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas, lebih baik aku pulang kerumah saja. Maklum, kondisiku saat ini berbeda jauh pada saat aku berada dimasa SMP dulu. Dulu hari Sabtu, aku pulang jam 1. Jadi sudah terasa lelah dan rasanya ingin lekas kembali kerumah. Sekarang? Jam 1 itu waktu aku usai sekolah saat hari Senin-Kamis. Sementara saat ini
hari sabtu aku pulang jam 10. Berselisih 3 jam. Aku juga heran, mengapa masa SMPku jauh lebih melelahkan dibanding masa-masa SMA. Padahal aku sering mendengar bahwa masa-masa SMA itu jauh lebih sibuk dibandingkan sebelumnya. Atau mungkin, hanya perasaanku saja.
***
       Terdengar suara handphone ku berdering. Meisha rupanya yg menelponku. "Halo?" "Hallo Nad, lagi sibuk nggak?"  "Enggak nih, ada apa sha?"  "Jalan yuk! Di SMP ada yg ngadain reunian loh" "Beneran? Oke deh, aku prepare dulu ya." Aku dan Meisha menuju ke SMP Harapan Bangsa. Yap, sekolahku dan Meisha semasa SMP. Semasa SMP aku sering  jalan  bersama dia. Tapi itu hanya semasa SMP. Kondisi saat ini sudah beda. Aku dan Meisha sudah berbeda sekolah. Dikarenakan cita-cita kami yg berbeda. Aku ingin menjadi seorang designer sementara dia ingin menjadi dokter. Walaupun begitu, aku dan Meisha tetap menjadi sahabat yg selalu ada disaat kami saling membutuhkan.  Di tengah perjalanan kami menuju SMP, Meisha melihat sosok yang tak asing baginya, sosok  yang membuat dia tergila-gila semasa SMPnya. Mungkin bisa dibilang salah satu penyemangat dia untuk bersekolah. Ya, Rey namanya. Tapi itu semasa SMP, Katanya sih saat ini Meisha sudah melupakannya. Karena menurutnya sifat seorang Rey itu sangat dingin. Sekarang Meisha sudah memiki kekasih yang mampu membuat dia melupakan seorang Rey. "Nad, dari rumah tadi aku udah berdoa loh semoga gak ketemu sama dia. Tapi belum sampe di SMP  kok sudah ketemu sama tuh orang sih!"  "Mana aku tau, mungkin jodoh kali." Meisha memajukan bibirnya menandakan sedang kesal. Mungkin di hatinya memang sudah benar-benar tidak ada nama Rey kali.
     Aku  sempat mempunyai hubungan kurang baik dengan Rey. Saat itu dia memiliki perasaan lebih dari teman kepadaku. Sebenarnya saat itu perasaanku juga sama kepadanya. Tapi aku sadar, sahabatku Meisha juga memiliki perasaan yang sama kepada Rey. Rey memaksaku untuk mencoba mengacuhkan perasaan Meisha itu kepadanya. Tetap tidak bisa. Walau bagaimanapun, Meisha itu adalah sahabatku. Tidak mungkin aku bahagia di atas penderitaan orang lain, apalagi orang itu adalah sahabatku sendiri. Aku mencoba untuk menjauh darinya. Aku mencoba untuk membiarkan  perasaanku kepadanya hilang dengan sendirinya.
***
      "Nadyaaa!! Jam berapa ini?! Kamu nggak sekolah apa?!" Suara teriakan mamaku membangunkanku. Aku langsung bersiap-siap dan bergegas untuk sekolah. Hari ini tanggal 14. Tepat 6 bulan aku tidak berkomunikasi dengan Rey. Tak terasa, ternyata cukup lama juga ya. Mungkin dia juga sudah lupa dengan diriku ini.  Sama dengan diriku yang sudah hampir lupa dengannya.  Walaupun aku masih dalam tahap mencoba untuk lupa dengannya.
     Saat di perjalanan menuju sekolah, tiba-tiba mobil yang aku kendarai itu berhenti. Aku mulai memeriksa apa yang salah dari mobilku itu. Aku memang tidak ahli dibidang kerusakan seperti ini. "Mobil kamu kenapa? Boleh aku bantu perbaikin?" tiba-tiba ada  seseorang yang menyapaku. "Boleh-boleh." sahutku yang masih sibuk melihat apa yg salah dalam mesin mobilku itu. Aku tersentak kaget melihat orang yang menyapaku tadi.  Lelaki bertubuh tinggi dan mengenakan jaket abu-abu itu adalah orang yang sudah 6 bulan lostcontact denganku.  "R..e..y.., kok kamu bisa disini?" "Kebetulan aku lewat sini dan gak sengaja liat plat mobil kamu. Pas aku liat dari jauh, kayaknya kamu lagi kesusahan gitu. Jadi aku samperin deh. Nih, mobil kamu udah beres. Coba kamu nyalakan mesinnya." Aku coba menyalakan mesinnya. Dan ternyata mobilku sudah baik seperti semula. "Makasih ya Rey. Kayaknya aku harus buru-buru deh, takut telat ini hehe" "Oh iya, gak papa. Kalau gitu aku balik juga yaa" Kami berdua meninggalkan tempat itu dan sibuk dengan urusan masing-masing. Setelah sekian lama aku tidak berjumpa dan berkomunikasi dengannya. Apakah tuhan memang menakdirkan aku dan dia dipertemukan kembali? Tidak ada yang tahu.
***
          Ditengah kesibukanku mengerjakan pr matematika dari bu Frisca, suara handphoneku terdengar sangat nyaring. Ku abaikan saja suara itu, karena hanya mengganggu konsentrasiku saja. Setelah selesai belajar, aku melihat handphoneku. Ada beberapa pesan dilayar handphoneku itu. Awalnya aku biasa saja melihat pesan yang paling atas, tetapi aku tersentak kaget setelah melihat pengirim pesan yang paling bawah. Walaupun isi pesan itu hanyalah Namaku dan tanda titik dua beserta tutup kurung. Dia orang yang menolongku tadi pagi saat mobilku mogok. Ya, Rey. Ternyata dia masih ingat dengan diriku. Setelah aku membalas pesannya tadi, diapun membalas lagi.
"Apa kabar?" 
"Baik, kamu sendiri?"
 "Sama.”
 Kami hanya sekedar basa basi dan bercanda. Tak lama kemudia dia bertanya kepadaku lagi. "Besok kamu ada acara gak?" "Emangnya kenapa?" "Aku mau ngajakin kamu jalan. Kita kan sudah lama nggak ngobrol bareng." "Besok kayaknya aku free. Kabarin aja ntar. Ok." "Ok"  Sudah lama sekali aku tak berbincang-bincang dengannya. Dan tadi pagi itupun hanya kebetulan saja.

***
       Aku sudah menuju tempat yang sudah kita sepakati. Mataku mulai melihat kearah kursi untuk mencari sosok tinggi seorang Rey. Dan sepertinya dia sudah lama menungguku. Bertemu dengannya lagi itu seperti luka bakar yang hampir kering, tetapi dibuka lagi. Aku sudah hampir melupakannya, tetapi sosok itu muncul lagi. Kali ini perasaanku tidak bisa dibohongin. Aku memang menyayangi dia. Tapi, menyayangi seseorang yang disayangi oleh sahabat sendiri itu memang sungguh menyakitkan. Aku tahu, Meisha memang sudah tidak suka kepadanya lagi. Tapi bagaimanapun, rasa bersalah itu tetap ada di benakku.
       Waktu demi waktu telah berlalu. Memang sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Aku memang sayang kepadanya. Tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku takut ini akan merusak persahabatanku dengan Meisha. 6 bulan yang lalu sebenarnya aku sudah ingin berbicara kepada Meisha yang sesungguhnya terjadi. Tetapi waktu dan kondisi saat itu tidak memungkinkan. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya. Aku cerita banyak hal kepada temanku Sinta. Salah satunya tentang cinta segitigaku dengan Meisha dan Rey. Aku berharap setelah aku bercerita dengannya, kami menemukan jalan keluarnya. Sinta marah kepadaku karena aku baru memberi tahunya sekarang. “Kenapa kamu baru ngasih tau sekarang, Nad? Kalau begini, semuanya sudah rumit.” Memang semuanya sungguh merumitkan. Aku tak tau harus bagaimana. Didalam pikiranku hanyalah satu, berusaha untuk melupakan Rey demi Meisha. “Nadya, Kamu itu juga punya perasaan. Apa kamu harus mengorbankan cintamu demi sahabatmu? Kalaupun kamu ngelupain Rey, apa itu akan membuat Meisha dan Rey berpacaran? Enggak kan!” Sinta memakiku. Benar juga yang dikatakan Sinta. Memang sih apabila aku melupakannya itu tidak akan membuat Rey dan Meisha berpacaran. Tapi bayangan bersalah itu selalu menghantui diriku. Aku tak menyangka kalau semuanya akan menjadi serumit ini.
         Sinta memutuskan untuk berbicara kepada Meisha. Bukan aku yang berbicara dengan Meisha, justru Sinta. Aku akui diriku memang seorang pengecut tidak berani berkata semuanya yang terjadi kepada Meisha. Untuk membahas tentang Rey saja, dadaku sudah sesak. Aku taku ketika aku membicarakan semuanya penyakit yang ku derita ini kambuh lagi. Semuanya aku serahkan kepada Sinta. Aku juga sudah siap menerima caci dan makian oleh Meisha.  Tuhan sudah menakdirkan semuanya akan menjadi serumit ini.  
         Sehari setelah Sinta berbicara kepada Meisha. Meisha memintaku untuk bertemu dengannya. Aku sudah yakin pasti dia akan marah besar kepadaku. Hft, setidaknya sebentar lagi masalah ini akan segera selesai. Walaupun Meisha akan membenciku nantinya. Aku menemuinya di rumah makan  dekat sekolahku. Perasaanku saat itu campur aduk. “Hey, sudah nungguin daritadi ya? Maap ya udah bikin nunggu lama, Mey.”  Ucapku membuka percakapan. “Santai aja kok. Aku juga baru aja dating ini.”  Kami memulai pembicaraan dan basa basi. “Nad, kenapa kamu harus takut untuk ngomong semuanya sama aku? Kalau kamu sayang sama Rey, yaudah jalanin aja. Ngapain kamu masih mikirin aku? Aku nggak berhak marah sama kamu. Aku bukan siapa-siapanya. Kan aku juga udah punya pacar. Jadi kalau kamu suka sama dia, yaudah kalian jalanin aja.”  Ini semua jauh dari apa yang aku perkirakan. Aku sudah membayangkan kalau nantinya aku akan di hina dan di caci maki olehnya. Tapi semuanya berbeda seratus derajat. Air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi. Kata-kata Meisha tadi benar-benar mebuatku kaget. Aku yakin, walaupun di depaku dia berkata seperti itu, pasti dia tetap merasakan sakit hati walaupun itu sedikit. Ibarat luka di tubuh, walaupun sudah lama dan pudar tetap akan membekas. Cinta itu tidak bisa dipaksa. Cinta itu datang dengan sendirinya. Kita nggak tau dia mau jatuh ke hati siapa. Semakin kita memaksa untuk melupakannya, semakin sakit yang dirasa. Biarkan saja semuanya mengalir seperti air yang selalu mengikuti alirannya. 

0 comments:

Posting Komentar

Design by: Ghina Rahimah. Diberdayakan oleh Blogger.