Mobilku melaju mengarah kerumahku. Padahal jam tanganku
masih menunjukan ke arah 10. Masih pagi sekali untuk seorang Nadya pulang ke
rumah jam segitu. Tapi, aku sendiri bingung
ingin kemana. Daripada aku berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas, lebih
baik aku pulang kerumah saja. Maklum, kondisiku saat ini berbeda jauh pada saat
aku berada dimasa SMP dulu. Dulu hari Sabtu,
aku pulang jam 1. Jadi sudah terasa lelah dan rasanya ingin lekas kembali
kerumah. Sekarang? Jam 1 itu waktu aku usai
sekolah saat hari Senin-Kamis. Sementara saat ini
hari sabtu aku pulang jam 10. Berselisih 3 jam. Aku juga heran, mengapa masa SMPku jauh lebih melelahkan dibanding masa-masa SMA. Padahal aku sering mendengar bahwa masa-masa SMA itu jauh lebih sibuk dibandingkan sebelumnya. Atau mungkin, hanya perasaanku saja.
hari sabtu aku pulang jam 10. Berselisih 3 jam. Aku juga heran, mengapa masa SMPku jauh lebih melelahkan dibanding masa-masa SMA. Padahal aku sering mendengar bahwa masa-masa SMA itu jauh lebih sibuk dibandingkan sebelumnya. Atau mungkin, hanya perasaanku saja.
***
Terdengar suara handphone ku berdering. Meisha rupanya yg
menelponku. "Halo?" "Hallo Nad, lagi sibuk nggak?" "Enggak nih, ada apa sha?" "Jalan
yuk! Di SMP ada yg ngadain reunian loh" "Beneran? Oke deh, aku
prepare dulu ya." Aku dan Meisha menuju ke SMP Harapan
Bangsa. Yap, sekolahku dan Meisha semasa SMP. Semasa SMP aku sering jalan
bersama dia. Tapi itu hanya semasa SMP. Kondisi saat ini sudah beda. Aku
dan Meisha sudah berbeda sekolah. Dikarenakan cita-cita kami yg berbeda. Aku ingin menjadi seorang designer
sementara dia ingin menjadi dokter. Walaupun begitu, aku dan Meisha tetap
menjadi sahabat yg selalu ada disaat kami saling membutuhkan. Di tengah perjalanan kami menuju SMP, Meisha
melihat sosok yang tak asing baginya, sosok
yang membuat dia tergila-gila semasa SMPnya. Mungkin bisa dibilang salah
satu penyemangat dia untuk bersekolah. Ya, Rey namanya. Tapi itu semasa SMP, Katanya sih saat ini Meisha sudah
melupakannya. Karena menurutnya sifat seorang Rey itu sangat dingin. Sekarang
Meisha sudah memiki kekasih yang mampu membuat dia melupakan seorang Rey. "Nad,
dari rumah tadi aku udah berdoa loh semoga gak ketemu sama dia. Tapi belum
sampe di SMP kok sudah ketemu sama tuh
orang sih!" "Mana aku tau, mungkin jodoh kali."
Meisha memajukan bibirnya menandakan sedang kesal. Mungkin
di hatinya memang sudah benar-benar tidak ada nama Rey kali.
Aku sempat
mempunyai hubungan kurang baik dengan Rey. Saat itu dia memiliki perasaan lebih
dari teman kepadaku. Sebenarnya saat itu perasaanku juga sama kepadanya. Tapi
aku sadar, sahabatku Meisha juga memiliki perasaan yang sama kepada Rey. Rey
memaksaku untuk mencoba mengacuhkan perasaan Meisha itu kepadanya. Tetap tidak bisa. Walau
bagaimanapun, Meisha itu adalah sahabatku. Tidak
mungkin aku bahagia di atas penderitaan orang lain, apalagi orang itu adalah
sahabatku sendiri. Aku mencoba untuk menjauh darinya. Aku mencoba untuk
membiarkan perasaanku kepadanya hilang
dengan sendirinya.
***
"Nadyaaa!! Jam berapa ini?! Kamu nggak sekolah
apa?!" Suara teriakan mamaku membangunkanku. Aku
langsung bersiap-siap dan bergegas untuk sekolah. Hari ini tanggal 14. Tepat 6
bulan aku tidak berkomunikasi dengan Rey. Tak terasa, ternyata cukup lama juga
ya. Mungkin dia juga sudah lupa dengan diriku ini. Sama
dengan diriku yang sudah hampir lupa dengannya. Walaupun aku masih dalam tahap mencoba untuk
lupa dengannya.
Saat di perjalanan menuju sekolah, tiba-tiba mobil yang
aku kendarai itu berhenti.
Aku mulai memeriksa apa yang salah dari mobilku itu. Aku memang tidak ahli dibidang
kerusakan seperti ini. "Mobil kamu kenapa? Boleh aku bantu
perbaikin?" tiba-tiba ada
seseorang yang menyapaku. "Boleh-boleh." sahutku yang masih sibuk
melihat apa yg salah dalam mesin mobilku itu. Aku tersentak kaget melihat orang
yang menyapaku tadi. Lelaki bertubuh
tinggi dan mengenakan jaket abu-abu itu adalah orang yang sudah 6 bulan
lostcontact denganku. "R..e..y..,
kok kamu bisa disini?" "Kebetulan aku lewat sini dan gak sengaja liat
plat mobil kamu. Pas aku liat dari jauh, kayaknya kamu lagi kesusahan gitu.
Jadi aku samperin deh. Nih, mobil kamu udah beres. Coba kamu nyalakan
mesinnya." Aku coba menyalakan mesinnya. Dan ternyata mobilku sudah
baik seperti semula. "Makasih ya Rey. Kayaknya aku harus buru-buru deh,
takut telat ini hehe" "Oh iya, gak papa. Kalau gitu aku balik juga
yaa" Kami berdua meninggalkan tempat itu dan sibuk dengan urusan
masing-masing. Setelah sekian lama aku tidak berjumpa dan berkomunikasi
dengannya. Apakah tuhan memang menakdirkan aku dan dia dipertemukan kembali? Tidak ada yang tahu.
***
Ditengah kesibukanku
mengerjakan pr matematika dari bu Frisca, suara handphoneku terdengar sangat
nyaring. Ku abaikan saja suara itu, karena hanya mengganggu konsentrasiku saja.
Setelah selesai belajar, aku melihat handphoneku. Ada beberapa pesan dilayar
handphoneku itu. Awalnya aku biasa saja melihat pesan yang paling atas, tetapi
aku tersentak kaget setelah melihat pengirim pesan yang paling bawah. Walaupun
isi pesan itu hanyalah Namaku dan tanda titik dua
beserta tutup kurung. Dia orang
yang menolongku tadi pagi saat mobilku mogok. Ya, Rey. Ternyata dia masih ingat
dengan diriku. Setelah aku membalas pesannya tadi, diapun membalas lagi.
"Apa kabar?"
"Baik, kamu
sendiri?"
"Sama.”
Kami
hanya sekedar basa basi dan bercanda. Tak lama kemudia dia bertanya kepadaku
lagi. "Besok kamu ada acara gak?" "Emangnya kenapa?"
"Aku mau ngajakin kamu jalan. Kita kan sudah lama nggak ngobrol
bareng." "Besok kayaknya aku free. Kabarin aja ntar. Ok."
"Ok" Sudah lama sekali aku
tak berbincang-bincang dengannya. Dan tadi pagi itupun hanya kebetulan saja.
***
Aku sudah menuju tempat yang sudah kita sepakati. Mataku
mulai melihat kearah kursi untuk mencari sosok tinggi seorang Rey. Dan
sepertinya dia sudah lama menungguku. Bertemu dengannya lagi itu seperti luka
bakar yang hampir kering, tetapi dibuka lagi. Aku sudah hampir melupakannya,
tetapi sosok itu muncul lagi. Kali ini perasaanku tidak bisa dibohongin. Aku
memang menyayangi dia. Tapi, menyayangi seseorang yang disayangi oleh sahabat
sendiri itu memang sungguh menyakitkan. Aku tahu, Meisha memang sudah tidak
suka kepadanya lagi. Tapi bagaimanapun, rasa bersalah itu tetap ada di benakku.
Waktu demi waktu telah berlalu. Memang sudah
tidak bisa dipungkiri lagi. Aku memang sayang kepadanya. Tapi aku bingung apa
yang harus aku lakukan. Aku takut ini akan merusak persahabatanku dengan
Meisha. 6 bulan yang lalu sebenarnya aku sudah ingin berbicara kepada Meisha
yang sesungguhnya terjadi. Tetapi waktu dan kondisi saat itu tidak
memungkinkan. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya.
Aku cerita banyak hal kepada temanku Sinta. Salah satunya tentang cinta
segitigaku dengan Meisha dan Rey. Aku berharap setelah aku bercerita dengannya,
kami menemukan jalan keluarnya. Sinta marah kepadaku karena aku baru memberi
tahunya sekarang. “Kenapa kamu baru
ngasih tau sekarang, Nad? Kalau begini, semuanya sudah rumit.” Memang
semuanya sungguh merumitkan. Aku tak tau harus bagaimana. Didalam pikiranku
hanyalah satu, berusaha untuk melupakan Rey demi Meisha. “Nadya, Kamu itu juga punya perasaan. Apa kamu harus mengorbankan
cintamu demi sahabatmu? Kalaupun kamu ngelupain Rey, apa itu akan membuat
Meisha dan Rey berpacaran? Enggak kan!” Sinta memakiku. Benar juga yang
dikatakan Sinta. Memang sih apabila aku melupakannya itu tidak akan membuat Rey
dan Meisha berpacaran. Tapi bayangan bersalah itu selalu menghantui diriku. Aku
tak menyangka kalau semuanya akan menjadi serumit ini.
Sinta memutuskan untuk berbicara kepada
Meisha. Bukan aku yang berbicara dengan Meisha, justru Sinta. Aku akui diriku
memang seorang pengecut tidak berani berkata semuanya yang terjadi kepada
Meisha. Untuk membahas tentang Rey saja, dadaku sudah sesak. Aku taku ketika
aku membicarakan semuanya penyakit yang ku derita ini kambuh lagi. Semuanya aku
serahkan kepada Sinta. Aku juga sudah siap menerima caci dan makian oleh
Meisha. Tuhan sudah menakdirkan semuanya
akan menjadi serumit ini.
Sehari setelah Sinta berbicara kepada Meisha.
Meisha memintaku untuk bertemu dengannya. Aku sudah yakin pasti dia akan marah
besar kepadaku. Hft, setidaknya sebentar lagi masalah ini akan segera selesai.
Walaupun Meisha akan membenciku nantinya. Aku
menemuinya di rumah makan dekat
sekolahku. Perasaanku saat itu campur aduk. “Hey, sudah nungguin daritadi ya? Maap ya udah bikin nunggu lama, Mey.” Ucapku membuka percakapan. “Santai aja kok. Aku juga baru aja dating
ini.” Kami memulai pembicaraan dan
basa basi. “Nad, kenapa kamu harus takut
untuk ngomong semuanya sama aku? Kalau kamu sayang sama Rey, yaudah jalanin aja. Ngapain
kamu masih mikirin aku? Aku nggak berhak marah sama kamu. Aku bukan
siapa-siapanya. Kan aku juga udah punya pacar. Jadi kalau kamu suka sama dia,
yaudah kalian jalanin aja.” Ini semua jauh dari apa yang aku perkirakan.
Aku sudah membayangkan kalau nantinya aku akan di hina dan di caci maki
olehnya. Tapi semuanya berbeda seratus derajat. Air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi. Kata-kata Meisha tadi
benar-benar mebuatku kaget. Aku yakin, walaupun di depaku dia berkata seperti
itu, pasti dia tetap merasakan sakit hati walaupun itu sedikit. Ibarat luka di
tubuh, walaupun sudah lama dan pudar tetap akan membekas. Cinta itu tidak bisa
dipaksa. Cinta itu datang dengan sendirinya. Kita nggak tau dia mau jatuh ke
hati siapa. Semakin kita memaksa untuk melupakannya, semakin sakit yang dirasa.
Biarkan saja semuanya mengalir seperti air yang selalu mengikuti alirannya.
0 comments:
Posting Komentar