Berawal dari sebuah organisasi aku mulai mengenalnya.
Awalnya biasa-biasa saja. Aku hanya mengenalnya sebatas kenal tidak lebih.
Orang yang biasa aku panggil Rifky ini sangat jago dalam hal seni. Dia pernah
menjuarai lomba mewakili Indonesia di Perth. Dengan membawakan Tari dayak
Kalimantan, dia berhasil meraih juara pertama di negara orang dan mengharumkan
tanah air tercinta ini. Keahliannya
dalam bidang seni sudah tidak di ragukan
lagi. Kami teman-temannya merasa bangga punya teman seperti dia.
****
“Mbak, hari ini jam
berapa rapat dimulai?” Sambil
menyeruput segelas teh manis yang ada di atas meja biru, aku membalas
pertanyaannya melalui handphone merah ini. “Maaf
ini siapa?” ”Ini Rifky Mbak Vionaaa” Aku hampir lupa saat dia meminta
nomorku kemarin siang saat mengadakan pertemuan rutin. “Ohh. Kamu toh, Rif. Manggilnya nggak perlu pakai kata Mbak juga kali.
Berasa tua banget kan jadinya..” Aku dan Rifky memang tidak satu angkatan.
Aku lebih tua satu tingkat dengan dia. Tetapi yang membuatku heran, dia tidak
mau memanggilku dengan sebutan kakak seperti siswa-siswa yang lainnya. Jadi dia
biasa memanggilku Mbak, Neng atau hanya dengan nama saja. Agar bisa lebih
friendly katanya. Kalau menurutku sih, apapun panggilan dia kepadaku selagi
tidak yang aneh-aneh aku terima-terima saja. Tetapi aku agak risih apabila dia
memanggilku dengan sebutan Mbak. Sedangkan yang lain tidak dia panggil seperti
itu. Terasa sangat tua sekali bagiku.
Sepertinya ada sesuatu dari raut wajah Dhara yang terlihat sangat serius saat mengatakan sesuatu itu kepada Rifky. Dan wajah Rifky pun saat mendengarnyapun langsung berubah. Terlihat tidak semangat. “Gha, mereka itu lagi ngomongin apasih? Kok kelihatannya serius banget?” Tanyaku kepada Egha. “Aku juga ngga tau, Vi. Tanya langsung saja kepada mereka.” Mereka berdua sangat aneh. Ah biarkan saja. Mungkin itu masalah mereka. Aku yang disini tidak berhak untuk ikut campur. Kemudian Dhara kembali berkumpul bersama kami lagi. Kami mulai tertawa lagi mendengar lelucon yang dibuat oleh Egha. Aku melihat kearah Rifky yang kebetulan tepat berada di depanku. Wajahnya sangat berubah setelah Dhara memberi tahu sesuatu tersebut. Mungkin mereka tidak menyadarinya, tetapi aku menyadarinya. Rasa penasaranku itu terus larut.
****
****
Semua
panitia sangat sibuk mempersiapkan acara pada hari minggu ini. Aku menjadi
salah satu panitianya. Aku sangat bersemangat, karena ada dirinya yang selalu
menyemangatikku. Moodbooster yang selalu bisa menghiburku ketika perasaanku
mulai kacau. Saat aku mengangkat kursi seorang diri, Rifky datang membantuku
membawakan kursi tersebut. Saat aku menyapu ruangan, dia membantuku membereskan
peralatan sekitar agar terlihat rapi. Saat
Hari H nya pun begitu juga. Setelah acara selesai, kami membersihkan ruangan
tersebut. Dan lagi-lagi Rifky membantuku. Kami mulai beristirahat dan makan
bersama.Dan pada saat itu nasi yang di pesan oleh panitia kurang satu.
Kebetulan aku yang tidak kebagian jatah nasi tersebut. Jadi aku dan makan satu
kotak berdua. Tidak bisa dibayangkan. Betapa
bahagianya diriku. Hampir saja aku lupa bahwa saat itu aku masih berstatus
pacaran dengan Radith.
Malam itu yang hanya ada di otakku hanya Rifky, Rifky dan hanya Rifky. Saat melihat kearah handphone ku yang menyala, terlihat tulisan “Radith Called” Aku kaget. Rupanya dia masih mengingatku. Aku mengangkat telponnya. Dan disitu dia menjellaskan panjang lebar alasan mengapa dia tidak mengubungi ku. Entahlah aku mulai bingung dengan semua ini. Apa yang harus aku lakukan? Apa mungkin aku meninggalkan Radith demi Rifky? Tetapi diriku masih cinta dengan Radith walaupun rasa itu sudah mulai pudar. Begitu juga dengan Rifky. Rasa sayang itu mulai timbul perlahan-lahan. Sebenarnya Rifky sudah lama memendam perasaannya kepadaku. Hanya saja dia tidak berani mengungkapkannya karena aku sudah memiliki Radith. Dan saat ini perasaanku ke Rifky sama dengan dirinya. Kami sama-sama memiliki perasaan. Dan saat aku bertanya kepada Rifky, dia bilang bahwa dia mau menungguku sampai aku sendiri.
Malam itu yang hanya ada di otakku hanya Rifky, Rifky dan hanya Rifky. Saat melihat kearah handphone ku yang menyala, terlihat tulisan “Radith Called” Aku kaget. Rupanya dia masih mengingatku. Aku mengangkat telponnya. Dan disitu dia menjellaskan panjang lebar alasan mengapa dia tidak mengubungi ku. Entahlah aku mulai bingung dengan semua ini. Apa yang harus aku lakukan? Apa mungkin aku meninggalkan Radith demi Rifky? Tetapi diriku masih cinta dengan Radith walaupun rasa itu sudah mulai pudar. Begitu juga dengan Rifky. Rasa sayang itu mulai timbul perlahan-lahan. Sebenarnya Rifky sudah lama memendam perasaannya kepadaku. Hanya saja dia tidak berani mengungkapkannya karena aku sudah memiliki Radith. Dan saat ini perasaanku ke Rifky sama dengan dirinya. Kami sama-sama memiliki perasaan. Dan saat aku bertanya kepada Rifky, dia bilang bahwa dia mau menungguku sampai aku sendiri.
Semuanya
salah diriku, mungkin kalau saja waktu itu aku nggak curhat ke dia. Nggak akan
menjadi seperti ini. Mungkin kalau aku tetap kokoh pada pendirianku, nggak
bakal seperti ini, Tapi mau gimana lagi. Perasaan itu nggak bisa di bohongin
dan datang dengan sendirinya. Nasi sudah menjadi bubur. Aku memilih untuk tetap
bersama Radith walaupun hati ini masih terbagi dua. Aku akan rindu saat aku
dan dia makan berdua dalam satu kotak. Aku akan rindu saat bangun tidur tidak
ada lagi ucapan selamat pagi dari dirinya. Aku akan rindu dengat tatapan tajam
matanya itu. Aku akan rindu saat membereskan bersama, saat mengangkat bangku
bareng. Dengan alunan lagu dari Fatin Shidqia – Memilih Setia perlahan-lahan
aku mencoba menguburkan semuanya dalam-dalam. Mungkin suatu saat akan ku gali
lagi kenangan yang sudah terkubur itu.
0 comments:
Posting Komentar